Jumat, 26 Oktober 2012

Tetesan Air Mata..


Tetesan Air Mata
 
 
        Rasullulah bersabda, "Tiada suatu yang lebih kusukai dari dua
tetesan, yaitu tetesan darah yang tumpahan darah karena jihad fisabilillah
dan tetesan air mata yang mengalir karena rasa takut dan rindu kepada Allah"
(HR Turmudzi). Dalam riwayat lain, "Tiada setetes yang lebih disukai Allah
'Azza wajla daripada setetes darah di jalan Alla". (HR Aththahawi). Betapa
mahalnya tetesan air mata yang mengalir itu karena ibadah, tetesan air mata
itu menjadi benda berharga. Di tengah-tengah kehidupuan yang serba mekanis
dan teoritis, fatwa-fatwa pun sudah tidak terdengar bijak dan nyaman untuk
didengar kita. Fatwa itu tidak menyentuh lagi, karena banyak yang diobral
dan menggombal, bahkan diintrik-intrik oleh muatan politik. Hampir saja kita
kehilangan potensi diri.
        Di tengah-tengah kehidupan itu, pernahkah kita, barang sekali,
menjerit, menumpahkan air mata ketika kita bangun di tengah malam,
mengadukan hidup yang penuh dengan nista dan dosa ini kepada Dia yang Maha
Rahmat? Ibarat tanah yang gersang, padang yang kering semua, tetumbuhan yang
layu, maka datanglah rintik hujan jatuh dari langit, begitulah air mata
penyesalan, air mata kerinduan, air mata manusia yang tawadhu' dan para
penaka yang bertaubat, bagaikan menghapus 'kegersangan' jiwa yang nista
tadi. Jiwa yang layu menjadi tegak dan tumbuh kembali optimisme, kegelisahan
qalbu yang gersang dengan bergagai nista, kini pupus, bagaikan debu-debu
yang hanyut terbawa arus.
 
        Rasullulah Saw. kekasih Allah, merengguk menumpahkan air mata,
karena penuh harap untuk jumpa denga-Nya? Sayyidina Abu Bakar ash-Shidiq ra.
senantisa menangis ketika menegakkan shalat? Mereka adalah manusia pilihan
Allah. Mereka adalah orang-orang yang punya derajat tinggi di depan
Allah.Dalam Suatu hadits seusai shalat (fardu) Rasullullah Saw. beristighfar
kepada Allah tiga kali, "Ya Allah Engkau Maha Pemberi ketentraman dan
perdamaian. Dari Engkaulah datangnya ketentraman dan perdamaian, wahai Rabb
yang Maha Memiliki keagungan dan kemulyaan." (H.R.Muslim).
 
        Bagaimana dengan kita? Pernahkah kita seperti manusia pilihan Allah
itu? Tatkala kita lahir, kita menangis dan orang-orang di sekeliling kita
tertawa terbahak-bahak bahagia karena menyambut kedatangan kita, maka ketika
kita mati nanti, jadikanlah kita tertawa bahagia karena akan jumpa dengan
Allah Sang Maha Kekasih, walaupun orang-orang yang kita tinggalkan menangis
pilu karena kehilangan anggota keluarga yang mereka cintai.
 
        Sesungguhnya, menangis di dunia itu lebih baik bagi kita ketimbang
kita menangis di akhirat nanti. Sebab itu, sudah sepantasnyalah setiap kita
waspadai diri, agar kita terhindar dari kegersangan jiwa yang nista, agar
kita terhindar dari tipe manusia yang tidak tahu bertaubat. Padahal
Rasulullah bersaba, "Tidak akan masuk ke dalam neraka seorang yang menangis
karena takut kepada Allah" (HR.Tirmidzi dan Abu Hurairah ra).
        Kita mengarungi samudra dunia, bukan untuk tenggelam terpikat oleh
ilusi fatamorgana. Kayuhlah biduk kehidupan kita, dan seberangi samudra
dunia untuk mencapai tujuan abadi surgawi. Kerahkan seluruh potensi untuk
tetap survive dalam perjuangan menembus badai samudra, sesekali kita boleh
menyelam, tetapi ingatlah! Tujuan kita bukan untuk mati tenggelam, tetapi
tujuan kita yang hakiki adalah mencapai pantai kebahagiaan sebagai ultimate
goal dari segala makna yang kita berikan untuk kehidupan.
 
        Kita tengok wajah kita setiap hari di muka cermin, bersolek dan
hiasi tubuh kita, tetapi jangan lupa menengok pigura ruhani kita. Hiasi dan
percantik qalbu itu, adakah hari ini iman kita lebih baik dari hari kemarin?
Adakah prestasi amal kita lebih baik menyongsong hari-hari yang semakin
singkat dan pendek. Lahir, hidup, mati, kemudian dilupakan orang! Tergolek
abadi menanti pengadilan akhir dari kehidupan yang panjang.
 
        Ya Allah apa yang telah diperbuat oleh hamba selama ini? Jawabannya
ada dalam dada masing-masing. Apakah hamba hanya mengumpukan dosa dan
menanti kematian? Jawabannya, entahlah, hati kita yang menjawab dengan
lancar walaupun lidah terdiam malu. Anas ra. berkata, "Pada suatu hari,
Rasullulah Saw. berkhutbah, belum pernah saya mendengar khutbah seperti ini,
lalu beliau bersabda, 'Andaikan kamu mengetahui apa yang aku ketahui,
niscaya kamu akan sedikit tertawa dan lebih banyak menangis.' Mendengar
ucapan Rasullullah ini, seluruh sahabat menutup mukanya masing masing sambil
menangis tersedu-sedu" (HR.Bukhari- Muslim).
 
        Alah berfirman dalam QS an-Najm ayat 59-60, "Apakah setelah
mendengar keterangan ini, engkau merasa heran lalu tertawa dan tidak
menangis?" Selanjutnya dalam QS al-Isra: 109, Allah berfirman, "Dan
sujudlah/tersungkurlah mereka sambil menangis, dan mereka bertambah khusuk."
Oleh sebab itu, menangislah sebelum datang hari dimana engkau akan
ditangisi.

Selasa, 23 Oktober 2012

CINTA ABU BAKAR

cinta..
kalimat indah tapi menyakitkan ??
itu lah bumbu kehidupann saat cintaa pergi kita akan selalu bertanya " mana cintaku ?? " tetapi ketika cinta datang kita selalu berkata " cinta itu duri ".


“Wahai Rasul Allah, jika mereka melihat ke kaki-kaki mereka, sesungguhnya mereka pasti melihat kita berdua”. Rasulullah memandang Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya punggung sahabat dekatnya ini pelan sambil berujar “Janganlah engkau kira kita hanya berdua. Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam kekuasaan maha, Allah”.
Ketika Rasulullah berada di hadapan,
Ku pandangi pesonanya dari kaki hingga ujung kepala
Tahukah kalian apa yang terjelma?
Cinta!
(Abu Bakar Shiddiq r.a)

Gua Tsur Wajah Abu Bakar pucat pasi. Langkah kaki para pemuda Quraisy tidak lagi terdengar samar. Tak terasa tubuhnya bergetar hebat, betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu itu berada di atas kepalanya. Setengah berbisik berkatalah Abu Bakar.
“Wahai Rasul Allah, jika mereka melihat ke kaki-kaki mereka, sesungguhnya mereka pasti melihat kita berdua”. Rasulullah memandang Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya punggung sahabat dekatnya ini pelan sambil berujar “Janganlah engkau kira kita hanya berdua. Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam kekuasaan maha, Allah”.
Sejenak ketenangan menyapa Abu Bakar. Sama sekali ia tidak mengkhawatirkan keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, ia hanya lelaki biasa. Sedang, untuk lelaki tampan yang kini dekat di sampingnya, keselamatan di atas mati dan hidupnya. Bagaimana semesta jadinya tanpa penerang. Bagaimana Madinah jika harus kehilangan purnama. Bagaimana dunia tanpa benderang penyampai wahyu. Sungguh, ia tak gentar dengan tajam mata pedang para pemuda Quraisy, yang akan merobek lambung serta menumpahkan darahnya. Sungguh, ia tidak khawatir runcing anak panah yang akan menghunjam setiap jengkal tubuhnya. Ia hanya takut, Muhammad, ya Muhammad.. mereka membunuh Muhammad.
***
Berdua mereka berhadapan, dan mereka sepakat untuk bergantian berjaga. Dan keakraban mempesona itu bukan sebuah kebohongan. Abu Bakar memandang wajah syahdu di depannya dalam hening. Setiap guratan di wajah indah itu ia perhatikan seksama. Aduhai betapa ia mencintai putra Abdullah. Kelelahan yang mendera setelah berperjalanan jauh, seketika seperti ditelan kegelapan gua. Wajah di depannya yang saat itu berada nyata, meleburkan penat yang ia rasa. Hanya ada satu nama yang berdebur dalam dadanya. Cinta.
Sejeda kemudian, Muhammad melabuhkan kepalanya di pangkuan Abu Bakar. Dan seperti anak kecil, Abu Bakar berenang dalam samudera kegembiraan yang sempurna. Tak ada yang dapat memesonakannya selama hidup kecuali saat kepala Nabi yang ummi berbantalkan kedua pahanya. Mata Rasulullah terpejam. Dengan hati-hati, seperti seorang ibu, telapak tangan Abu Bakar, mengusap peluh di kening Rasulullah. Masih dalam senyap, Abu Bakar terus terpesona dengan sosok cinta yang tengah beristirahat diam di pangkuannya. Sebuah asa mengalun dalam hatinya “Allah, betapa ingin hamba menikmati ini selamanya”.
Nafas harum itu terhembus satu-satu, menyapa wajah Abu Bakar yang sangat dekat. Abu Bakar tersenyum, sepenuh kalbu ia menatapnya lagi. Tak jenuh, tak bosan. Dan seketika wajahnya muram. Ia teringat perlakuan orang-orang Quraisy yang memburu Purnama Madinah seperti memburu hewan buruan. Bagaimana mungkin mereka begitu keji mengganggu cucu Abdul Muthalib, yang begitu santun dan amanah. Mendung di wajah Abu bakar belum juga surut. Sebuah kuntum azzam memekar di kedalaman hatinya, begitu semerbak. “Selama hayat berada dalam raga, aku Abu Bakar, akan selalu berada di sampingmu, untuk membelamu dan tak akan membiarkan sesiapapun menganggumu”.
Sunyi tetap terasa. Gua itu begitu dingin dan remang-remang. Abu Bakar menyandarkan punggung di dinding gua. Rasulullah, masih saja mengalun dalam istirahatnya. Dan tiba-tiba saja, seekor ular mendesis-desis perlahan mendatangi kaki Abu Bakar yang terlentang. Abu Bakar menatapnya waspada, ingin sekali ia menarik kedua kakinya untuk menjauh dari hewan berbisa ini. Namun, keinginan itu dienyahkannya dari benak, tak ingin ia mengganggu tidur nyaman Rasulullah. Bagaimana mungkin, ia tega membangunkan kekasih itu.
Abu Bakar meringis, ketika ular itu menggigit pergelangan kakinya, tapi kakinya tetap saja tak bergerak sedikitpun. Dan ular itu pergi setelah beberapa lama. Dalam hening, sekujur tubuhnya terasa panas. Bisa ular segera menjalar cepat. Abu Bakar menangis diam-diam. Rasa sakit itu tak dapat ditahan lagi. Tanpa sengaja, air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah yang tengah berbaring. Abu Bakar menghentikan tangisannya, kekhawatirannya terbukti, Rasulullah terjaga dan menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis karena menyesal mengikuti perjalanan ini” suara Rasulullah memenuhi udara Gua.
“Tentu saja tidak, saya ridha dan ikhlas mengikutimu kemana pun” potong Abu Bakar masih dalam kesakitan.
“Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?”
“Seekor ular, baru saja menggigit saya, wahai putra Abdullah, dan bisanya menjalar begitu cepat”
Rasulullah menatap Abu Bakar penuh keheranan, tak seberapa lama bibir manisnya bergerak “Mengapa engkau tidak menghindarinya?”
“Saya khawatir membangunkan engkau dari lelap” jawab Abu Bakar sendu. Sebenarnya ia kini menyesal karena tidak dapat menahan air matanya hingga mengenai pipi Rasulullah dan membuatnya terjaga.
Saat itu air mata bukan milik Abu Bakar saja. Selanjutnya mata Al-Musthafa berkabut dan bening air mata tergenang di pelupuknya. Betapa indah sebuah ukhuwah.
“Sungguh bahagia, aku memiliki seorang sepertimu wahai putra Abu Quhafah. Sesungguhnya Allah sebaik-baik pemberi balasan”. Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, Al-Musthafa meraih pergelangan kaki yang digigit ular. Dengan mengagungkan nama Allah pencipta semesta, Nabi mengusap bekas gigitan itu dengan ludahnya. Maha suci Allah, seketika rasa sakit itu tak lagi ada. Abu Bakar segera menarik kakinya karena malu. Nabi masih memandangnya sayang.
“Bagaimana mungkin, mereka para kafir tega menyakiti manusia indah sepertimu. Bagaimana mungkin?” nyaring hati Abu Bakar kemudian.
Gua Tsur kembali ditelan senyap. Kini giliran Abu Bakar yang beristirahat dan Rasulullah berjaga. Dan, Abu Bakar menggeleng kuat-kuat ketika Rasulullah menawarkan pangkuannya. Tak akan rela, dirinya membebani pangkuan penuh berkah itu.
***
Kita pasti tahu siapa Abu Bakar. Ia adalah lelaki pertama yang memeluk Islam dan juga salah satu sahabat terdekat Rasulullah. Dari lembar sejarah, kita kenang cinta Abu Bakar kepada Al-Musthafa menyemesta. Kisah tadi terjadi pada saat ia menemani Rasulullah berhijrah menuju Madinah dan harus menginap di Gua Tsur selama tiga malam. Menemani Nabi untuk berhijrah adalah perjalanan penuh rintang. Ia sungguh tahu akibat yang akan digenggamnya jika misi ini gagal. Namun karena cinta yang berkelindan di kedalaman hatinya begitu besar, Abu Bakar dengan sepenuh jiwa, raga dan harta, menemani sang Nabi pergi.
Dia terkenal karena teguh pendirian, berhati lembut, mempunyai iman yang kokoh dan bijaksana. Kekokohan imannya terlihat ketika Madinah kelabu karena satu kabar, Nabi yang Ummi telah kembali kepada Yang Maha Tinggi. Banyak manusia terlunta dan larut dalam lara yang sempurna. Bahkan Umar murka dan tidak mempercayai kenyataan yang ada. Saat itu Abu Bakar tampil mengingatkan seluruh sahabat dan menggaungkan satu khutbah yang mahsyur “Ketahuilah, siapa yang menyembah Muhammad, maka ia telah meninggal dunia. Dan sesiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah tidak mati”.
Kepergian sang tercinta, tidak menyurutkan keimanan dalam dadanya. Ketiadaan Rasulullah, jua tak memadamkan gebyar semangat untuk terus menegakkan pilar-pilar Islam yang telah dipancangkan. Pada saat menjabat khalifah pertama, ia dengan gigih memerangi mereka yang enggan berzakat. Tidak sampai di situ munculnya beberapa orang yang mengaku sebagi nabi, sang khalifah juga berlaku sama yaitu mengirimkan pasukan untuk mengajak mereka kembali kepada kebenaran. Sesungguhnya pribadi Abu Bakar adalah lemah lembut, namun ketika kemungkaran berada dihadapannya, ia berlaku sangat tegas dalam memberantasnya.
Abu Bakar wafat pada usia 63 tahun, pada saat perang atas bangsa Romawi di Yarmuk berkecamuk dengan kemenangan di tangan Muslim. Sebelum wafat, ia menetapkan Umar sebagai penggantinya. Jenazahnya dikebumikan di sebelah manusia yang paling dicintainya, yaitu makam Rasulullah. Hidup Abu Bakar berhenti sampai di sana, namun selanjutnya manusia yang menurut Rasulullah menjadi salah seorang yang dijamin masuk surga, terus saja mengharumkan sejarah sampai detik sekarang. Ia mencintai Nabinya melebihi dirinya sendiri. Tidakkah itu mempesona?